BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Keperwataan
jiwa merupakan salah satu ruang lingkup kerja perawat. Dalam keperawatan jiwa
berbagai macam kasus dapat ditemui dalam keperawatan jiwa, salah satunya kasus
kekerasan.
Patricia D. Barry (1998:140), menyatakan
bahwa marah adalah suatu keadaan yang merupakan campuran perasaan frustasi dan
benci atau marah. Hal ini didasari karena emosi secara mendalam dari setiap
orang sebagai bagian penting dari keaadaan emosional kita yang di proyeksikan
ke lingkungan, kedalam diri atau secara destruktif.
Perilaku
kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes,
2000).
1.2
Rumusan
Masalah
Konsep
dasar perilaku kekerasan dan asuhan keperawatan pada klien perilaku kekerasan.
1.3
Tujuan
Mengetahui
konsep dasar perilaku kekerasan dan asuhan keperawatan pada klien dengan
peerilaku kekerasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Patricia
D. Barry (1998:140), menyatakan bahwa marah adalah suatu keadaan yang merupakan
campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasari karena emosi
secara mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting dari keaadaan
emosional kita yang di proyeksikan ke lingkungan, kedalam diri atau secara
destruktif.
Marah merupakan perasaan jengkel yang
timbul sebagai respons terhadap kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang
dirasakan sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan adalah perilaku
individu yang dapat membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik,
emosional, dan atau sexua litas ( Nanda, 2005 ).
Perilaku kekerasan atau agresif
merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara
fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993 dalam Depkes, 2000).
Kemarahan
adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996)
Agresi berkaitan dengan trauma pada masa
anak pada saat merasa lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman. Bila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhui secara terus menerus, maka ia akan
menampakkan reaksi berupa menagis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan
ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menhan napasnya.
Setelah
anak berkembang dewasa ia menampkan reaksi yang lebih keras pada saat
kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi. Seperti tempertantrum, melempar,
menjerit, menahan napas, mencakar, merusak atau bersikap agresif pada
bonekanya. Bila Reward and punishment tidak dilakukan maka ia cenderung
menganggap perbuatan tersebut benar.
Bila
kontrol lingkungan seputar anak tidak berfungsi, maka reaksi agresi tersebut
bertambah kuat sampai dewasa. Sehingga apabila ia merasa benci atau frustasi
dalam mencapai tujuan ia akan bertindak agresif. Hal ini bertambah apabila ia
merasa kehilangan orang-orang yang dicintai yang berarti. Tetapi pelan-pelan ia
akan belajar mengontrol dirinya dengan
norma dan etika dari dalam dirinya yang dia adopsi dari pendidikan dan
lingkungan sekitarnya. Ia belajar mana yang baik dan mana yang tidak baik. Sehingga
pola asuh dan orang-orang terdekat sekitar lingkungan akan sangat berarti.
Perilaku kekerasan itu sendiri sering
dipandang sebagai suatui rentang, dimana agresif verbal di suatu sisi dan
perilaku kekerasan (violence) di sisi lain.
2.2
Rentang
Respon Marah
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
Tindakan kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik, baik kepada
diri sendiri maupun ornag lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk
dimana seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerkan motorik
yang tidak dikontrol.
·
Asertif : mampu
menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain dan merasa lega.
·
Frustasi : Merasa gagal
mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang tidak realistis.
·
Pasif : Diam saja
karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaan yang sedang dialam.
·
Agresif : Tindakan
destruktif terhadap lingkungan yang masih terkontrol.
·
Amuk : tindakan
destruktif dan bermusuhan yang kuat dan tidak terkontrol.
2.3. Faktor
Presdiposisi
Faktor
Psikologis
Psycoanalytical Theory; Teori ini
mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives.
Freud berpendapat bahwa perilaku manusia di pengaruhi oleh dua insting. Kesatu
insting hidup yang dapat di ekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting
kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation agression theory ; teori yang
dikembangkan oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha
seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul
dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang
untuk melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua
orang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai
perilkau agresif, mendukung pentingnya peran dari perkembangan presdiposisi
atau pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia manusia mampu
memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari
pengalaman tersebut :
·
Kerusakan otak organik,
retardasi mental, sehingga tidak mampu menyelesaikan secara efektif.
·
Severe Emotional
deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-kanak, atau seduction
parental, yang mengkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan harga
diri.
·
Terpapar kekerasan
selama mas aperkembangan, termasuk child abuse atau mengobservasi kekerasan
dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan atau koping.
Faktor Sosial
Budaya
Social Learning Theory; teori yang di kembangkan oleh Bandura
(1977) ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang
lain. Agresi dapat di pelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin
sering mendapatkan penguatan makan semakin besar kemungkinan untuk terjadi.
Jadi seseorang akan merespon terhadap keterbangkitaan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respon yang di pelajarinya. Pembelajaran ini bis
ainternal atau ekternal. Contoh internal; orang yang mengalami keterbangkitan
seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film
tersebut; seseorang anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya
memberinya es agar si anak mendapatkan apa yang dia inginkan. Contoh eksternal;
seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat seseorang dewasa
mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi
perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif
mana yang dapat diterima atau dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu
untuk mengekspresikan marah dengan cara asertif.
Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan
bahwa dorongan agresif mempunyai dasar biologis. Penelitian neurobiologi mendapatkan
bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus (yang berada
di tengah sistem limbik binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.
Peangsangan yang diberikan terutama pada nukleus periforniks hipotalamus dapat
menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis,
bulunya berdiri, menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan
hendak menerkan tikus atau objek yang ada di sekitarnya. Jadi kerusakakan
sistem limbic (untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (pemikiran rasional),
dan lobus temporal (untuk interpretasi indera penciuman dan memori)
Neurotransmitter yang sering dikaitkan
dengan perilaku agresif;serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan
asam amino GABA.
Faktor-faktor
yang mendukung :
·
Masa kanak-kanak yang
tidak menyenangkan
·
Sering mengalami
kegagalan
·
Kehidupan yang penuh
tindakan agresif
·
Lingkungan yang tidak
kondusif (bising, padat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar